Well, edisi yang satu ini kalau mau diurai mungkin baru akan habis 4 hari 5 malam, kok nanggung?. Kenapa nggak sekalian aja 7 hari 7 malam?. Jangan dong.. nanti nggak tidur lantas hari Senin-nya nggak bisa bangun untuk kerja. Anyhow, merujuk judul artikel kali ini, saya ingin mengulas sedikit akan peranan sang pendamping. Biasanya jarang dalam artikel ini dan sajian bacaan di warung sebelah saya mengulas perihal si Idung Pesek ini.
Ya, “Idung Pesek” itulah se
butan romantis sang pendamping saya. Mungkin bagi rekans yang selama ini sempat mengikuti rentetan panjang sajian cerita di warung sebelah akan faham seperti apa wujud, kelakar dan personality traits si pendamping peacekeepers ini.
Sedikit banyak para pendamping sosok peacekeepers, entah itu staff PBB asal Indonesia dan staff dari warga negara lainnya punya kesamaan, apabila sang suami bertugas sebagai staff mission, ia (si pendamping) akan mengalami kurang lebih serupa/mirip dengan kisah pengalaman dan cerita para pendamping sahabat kita yang berseragam, yaitu rekans pada Polri dan TNI.
Mengapa demikian?. Karena, tuntutan tugas mengharuskan sang suami bertugas dan bekerja jauh dari kampung halaman dan/atau ditugaskan pada daerah yang notabene dalam istilah keren-nya itu sering diberi sebutah: “Hazardous Assignment“ atau istilah umumnya “Non Family Assignment“.
(Ah, kamu terlalu canggih sebutannya, cobalah jelaskan dalam bahasa yang sederhana, agak _ndeso dikit juga nggak apa-apa, kok_.)
Selain itu pula, saya sering mendapat email dari pembaca di tanah air yang notabene cucu-nya, kaka sulung-nya, suami-nya atau tetangga-nya bertugas pada misi PBB yang tergabung dalam Kontingen Pasukan Garuda, atau kontingen mandiri yang biasanya diawaki oleh beberapa personil setingkat perwira muda & menengah.
Nah, kembali ke pertanyaan para pembaca, dimana pertanyaan itu sebenernya sederhana dan dilontarkan mereka itu terkadang cukup sulit untuk dijawab.
Contohnya:
“Mas, Adek-ku tugas nang Afrika.. apakah sama seperti sampeyan kerjanya? nah, sampeyan itu kok tugasnya di Liberia .. itu afrika juga tah?“
“Pak, tunangan saya baru aja berangkat tugas ke Lebanon.. saya dengar cewe-cewe Lebanon itu cantik dan seksi.. bagaimana kansnya dia tergoda lalu selingkuh?“ (Waduuh…..)
“Dek, aku krungu krungu mantuku iku entuk tugas nang pedalamane afrika tapi sik lurus maneh…opo jeneng negorone? Nek ga salah kongo ya.. iki bojone bendino nangis nangis jarene kangen.. wis suwi ga ono kabare.. ditilpun angel… yo opo yo carane ben iso ngubungi areke.. iso titip pesen nang sampeyan?“
Ya, kira-kira seperti itulah… email ini datang silih berganti tiap minggu dengan pertanyaan-pertanyaan khas kekhawatiran pasangan, anggota keluarga dan pacar atau khas kekerabatan yang erat. Itu semua adalah inquiries yang valid (Baca: Sah) sebenernya. Mengingat penugasan panjang dalam kurun 1 (satu) tahun itu biasanya adalah merupakan sebuah wacana the test of time stadium serius terhadap sebuah hubungan, entah itu hubungan asmara sepasang kekasih, atau mereka yang sudah berumah tangga dan lain sebagainya.
Kembali ke perihal ‘Pendamping peacekeepers’ tadi, mungkin bagi si Idung Pesek ini, melihat saya mempersiapkan koper dan barang bawaan untuk berangkat tugas adalah perihal yang sudah jamak. Sebab sejak tahun 2003, dia sudah terbiasa ditinggal-tinggal, semenjak saya bertugas pada misi pemeriksaan senjata PBB untuk Iraq (UNMOVIC), bahkan kita sekeluarga yang sebelumnya sudah nyaman-gemah-ripah-long-jenawi tinggal di New York, harus rela gulung tikar kembali ke tanah air lantaran saya bersikukuh menjalani dan menerima penugasan mission perdana ke Iraq.
Mungkin bila si Idung Pesek ini diberi kesempatan untuk bercerita di depan sebuah talk show, bisa jadi serial telenovela yang tidak kelar sepanjang 12 judul.
Apalagi merujuk pada perjalanan inspeksi WASKAT-nya ke Liberia yang akhirnya memberikan segudang pemahaman baru akan dunia dan tantangan tugas dihadapi oleh peacekeepers serta menyambung shabat para peacekeepers Indonesia yang bertugas disana:
Mengingat layaknya seorang wanita, tentu sarat dengan luapan emosi dan sisi romantika yang melekat erat dalam hatinya, tentunya menjadi sebuah tantangan bukan kepalang saat dihadapkan pada sebuah fakta perpisahan – meski itu bersifat sementara. Elemen bathin dan kekhawatiran psikis sudah pasti meliputinya dan anak-anak, belum lagi mengisi kekosongan peran sang peacekeepers terhadap anak-anak yang kerap akan bertanya atau malah menjadi ‘Gogoda kana awak’ (Artinya: Cobaan kesabaran terhadap diri dan kekuatan mental) menjalani keseharian jauh dari suami.
Mengambil peribahasa orang Sukabumi: “Iyeu, mah lain urusan gancang, baby!“
Ada banyak cara atau tips jitu yang sedikit banyak-nya dapat meredam kekhawatiran sang pendamping yang bisa dilakukan oleh sang peacekeepers, dimana beberapa perihal dibawah ini bisa menciptakan rasa tenang dan memudahkan proses persiapan keberangkatan tugas sang peacekeepers;
1. Berdiskusi Aktif. Seperti gaya bicara juragan warung di kampung saya, sebutlah namanya; Ceu Momon yang biasa menyapa pelanggan warungnya usai duduk dan siap menyeruput kopi di warungnya. “Cep, talk to me, atuh…” – artinya, bicarakanlah perihal penugasanmu kepada sang pendamping. Jelaskan apa yang akan dilalui dalam penugasan ini, kapan jadwal keberangkatan, dan apa saja yang akan dilalui dalam proses keberangkatanmu ini, persiapan apa yang harus dibuatkan dari rumah serta informasi lain yang menyangkut urusan ‘dapur ngebul’ lalu ritual pembayaran iuran domestik, arisan, cicilan dan sebagainya yang mungkin selama ini diperankan oleh sang suami – kini harus diserah-terimakan proses dan kegiatannya kepada sang pendamping.
Sayangku, kamu pastikan bahwa orang tua saya sering ditengok selama saya tugas ya.. mereka tidak hanya rindu pada cucunya, tapi kangen juga ngobrol ama menantunya..
Intinya, pastikan bahwa tugas-tugas domestikmu bisa dilanjutkan kepadanya selama bertugas. Apapun yang menyangkut upaya pemberdayaan pendamping saat di tinggal bertugas layak menjadi bahasan diskusi aktif dan pastikan semuanya tuntas, difahami dan diterima ridho oleh sang pendamping sebelum berangkat tugas. Faham?. Good – jadi saat nanti pulang ke rumah lepas mendapati secarik surat tugas atau ‘Travel authority’ dari misi PBB itu silahkan membuka wacana: Talk to me, atuh! dengan si dia.
2. Meredam kekhawatiran. Kita semua faham akan karakter pendamping masing-masing. Ada yang pacarnya, atau istrinya yang tabiat atau karakternya ber-api-api saat mendengar informasi akan sesuatu kabar, adalagi yang terdiam, lalu cemberut seribu bahasa bila kabar yang didengarnya itu tidak berkenan atau tidak sesuai dengan keinginan hatinya, adalagi yang tiba-tiba mendadak ‘mewek ra iso setop’ (Maksudnya: Nangis gagauran susah berenti)… dan banyak lagi. Nah saat kita memahami karakter tadi itu, maka cermatilah upaya atau ciptakan skenario penyampaian berita penugasan misi PBB mu ini sebaik mungkin dengan mengedepankan redaksional (cara pengungkapan) yang meredam kekhawatiran. Saat kita memahami apa yang disenangi dan dibenci oleh sang pendamping, maka redaksional yang gambarannya menyenangkan itu bisa menjadi sisi ‘intro’ – niscaya adegan drama itu tidaklah harus berakhir dengan ‘piring terbang’ atau dikunciin dari dalam sehingga harus tidur di sofa luar atau malah di teras luar. Hal serupa juga menyangkut keteguhan cinta yang acapkali penugasan non family ini diartikan sebagai “I am getting away from you……hoooouuuu!!!!“ atau berlaku sebaliknya. (Nah, lho!).
3. Pemberdayaan kapabilitas. Nah, yang satu ini adalah tantangan awal peacekeepers sebelum berangkat, bagaimana memastikan bahwa pemberdayaan ini adalah proses: “leading by example” bukan sebagai “leading by nyap-nyap” (Omong Doang). Mungkin ada sang pendamping yang sebelumnya tidak bisa berkendara/nyetir mobil sendiri, karena memang takut atau malah selama ini nyaman disopiri suami. Dalam kasus ini, saya pun mengalami serupa, seusai gulung tikar dari New York kembali ke Jakarta, si Idung Pesek memang tidak pernah mempunyai SIM (Surat Ijin Mengemudi) di AS, meski ia mempunyai SIM di tanah air sudha lama tidak berpengalaman berkendara lagi, dan tentunya alam berkendara di luar negeri pastinya beda bergantung pada karakter pengemudi. Namun, karena situasi dan fakta kebutuhan harus mengantar anak-anak pergi ke sekolah, ke pasar dan lain sebagainya, akhirnya ia berhasil mandiri dan malah lebih jago tata tertib mengemudinya dari saya. Contoh lain, dalam urusan pengurusan surat-surat ijin yang biasa dikerjakan suami, semisal urus perpanjangan SIM, KTP, IMB dan lain sebagainya, adalah sebuah proses atau ranah yang berada jauh diluar ritual layaknya kegiatan ibu rumah tangga.
Mungkin sedikit berbeda dan lain hal-nya bila sang pendamping adalah wanita karir/bekerja. Mungkin timpang situasinya tidaklah menjulang, namun demikian proses pemberdayaan itu sedikit banyak harus diperankan oleh sang peacekeepers sebelum dia berangkat tugas, yang mana akan dapat melegakan secara psikis hati sanubarinya sang pendamping.
4. Manajemen Terbuka. Nah inilah urusan yang bagi sebagian adalah urusan sakit kepala. Dalam banyak rumah tangga, kendali keuangan dipegang oleh suami, dimana sang pendamping hanya diberi jatah tiap bulanan dalam anggaran yang sudah disetujui, dalam artian sang pendamping tidak mempunyai atau tidak diberikan akses penuh terhadap informasi pundi-pundi keuangan keluarga karena satu dan lain hal. Tentunya dengan berangkat tugas selama 1 tahun ini, aturan main mungkin akan sedikit berubah, apakah diberikan akses penuh atau separuh dan lain-nya. Sebab tanpa ada diskusi tuntas soal manajemen (keuangan keluarga) – khususnya bagi yang sudah mempunyai anak – maka akan menyulitkan dan menyengsarakan bila kendali penuh tetap dipegang dimana akses perbankan dan keuangan dilakukan dari daerah operasi di mission akan sangat banyak terhambat, selain prasarana telekomunikasi yang jauh lebih ambruk, perbedaan waktu menjulang ini yang menjadi tantangan besar.
Sumpah, Bune.. aku nggak punya rekening gendut rahasia.. semua udah ta’ serahken tempo hari, ya buku tabungan, ya kartu ate-em-nya..
Kegagalan dalam dalam menerapkan ‘manajemen terbuka’ tadi sedikit banyak biasanya mengakibatkan perselisihan dari sejak persiapan keberangkatan, selama penugasan dan bahkan sampai masa purna tugas. Belum lagi biaya, energi psikis dan stress yang mendera kedua belah pihak sepanjang masa penugasan itu.
5. Menyikapi masa transisi purna tugas. Kalau dari istilahnya: Menyikapi masa transisi, kok kedengerannya jadi ‘penting-penting gimanaa gitu…’ – Ya!, penting lho agar individu yang akan bertugas pada daerah misi pasca-konflik, baik itu dalam penugasan NGO Internasional atau dalam lingkup penugasan misi peacekeeping PBB, paling tidak akan terekspose pada post-conflict life setting selama 1 (satu) tahun. Transisi disini dibatasi hanya perihal kehidupan rumah tangga saja, ya.. perihal lingkup kedinasan mudah-mudahan akan diulas terpisah. Nah, balik ke masa transisi – Kurun waktu 1 tahun akan memberikan banyak kontribusi terhadap tabiat/karakter hidup seseorang, apalagi hidup dalam isolasi jauh dari tatanan kehidupan. Para peacekeepers mengalami transisi/perubahan lingkungan dari kehidupan normal ke situasi ‘combat mode’ atau ‘post-conflict setting’, dan sebaliknya saat mendekati masa purna tugas. Perumpamaan sepintas menyamai siklus kehidupan seekor ikan salmon, yang lahir di perairan air tawar lalu menuju ke laut (kehidupan air asin laut) dan seusai menjalani periode hidupnya kembali ke perairan air tawar lagi (untuk bertelur dan berkembang biak), dimana masing-masing perjalanan menuju ke dua lingkungan tadi menghadang serangkaian tantangan tersendiri.
Membaca SMS: “Sayangku, semoga sehat terus ya.. seminggu lagi kamu akan purna tugas.. anak-anak dan saya menunggumu di rumah, masakan kesukaanmu akan saya siapkan.. ohya, saya sudah luluran mulus, lho!
Hal serupa berlaku penuh terhadap para pendamping peacekeepers ini persis seperti yang pernah diulas dalam judul: Mas, Dunia ini tidak selebar daun kelor-mu itu! – mencermai potensi konflik internal rumah tangga bagi peacekeepers dan pendampingnya sebelum, sepanjang dan selepas penugasan misi adalah pendekatan penyelesaian konflik (conflict resolution) yang bertahap, dan peranan serta keseriusan pada masing-masing pihak sama-sama dituntut agar bisa sabar, bijak dan saling menjaga perasaan serta cinta kasih, demi keberhasilan sebuah hubungan pasangan, baik itu dalam konteks pasangan pacar, tunangan dan apalagi suami-istri agar lulus dan lolos menjalani ‘the test of time’.
Diatas adalah sebagian kecil dari aspek yang bisa dikembangkan lebih panjang dan kompleks lagi, namun rata-rata bagi kebanyakan pribadi, 5 points diatas adalah perihal yang umum terjadi, dialamai dan harus menjadi periksa bagi para peacekeepers dan sang pendampingnya. Tidak ada yang mudah dalam menjalaninya, baik bagi pendamping peacekeepers dan peacekeepers itu sendiri dalam urusan separasi dan persiapan penugasan.
Sudah sederet contoh kasus keluarga dan rumah tangga yang menjadi berantakan, lantaran sang peacekeepers menjalani penugasan seperti ini, dimana elemen persiapan internal rumah tangga/hubungan antar pasangan sesuai dijelaskan pada 5 points diatas tidak dicermati serius.
Ya, Gusti.. kuatkalah hambamu ini.. dalam 4 jam kedepan saya akan tiba di tanah air untuk menyelesaikan urusan perceraian ini…
Harus diakui bahwa, dibutuhkan kedewasaan dalam membina hubungan dan seberapa kuat cinta kasih, cita-cita bersama dalam rumah tangga dan rasa tanggungjawab moral pada kedua belah pihak dalam menyikapi penugasan non family assignment di dalam ranah penugasan misi PBB atau penugasan pasca konflik pada kebanyakan NGO internasional ini.
Kepada rekans yang kini bertugas di Lebanon, Kongo, Haiti, Darfur, Afghanistan, Liberia, Sudan dan berbagai penugasan jauh dari tanah air tanpa keluarga ini, ada baiknya kita kembali mengasah ketrampilan membina hubungan, dimana tanpa disadari kita semua merasa jauh lebih romantis saat terbilang jarak menjulang dihadapan ketimbang ketika berada dekat dan serumah.
Inilah kesempatan buat kita semua membuktikan bahwa menjadi peacekeepers di negeri sarat konflik ini juga mampu menghargai upaya ‘peacekeeper’ kita masing-masing yang setia menunggu di rumah di tanah air, yang notabene telah/tengah berjuang jungkir-balik guna memastikan bahwa dunia rumah tangga Republik Sendiri itu tetap utuh, anak-anak terperhatikan semua aspeknya dan cinta kasih antara pasangan selalu terjaga nyala api-kemesraan-nya hingga hari saat sang peacekeepers ini kembali ke pangkuan sang terkasih masing-masing.
Kiranya ada yang berkenan berbagi cerita pengalaman-nya tempo hari?… dan sudahkah menelpon sang pendamping di tanah air hari ini?.
Mungkin dalam percakapan telepon itu kelak bisa disisipi: “Sayang, saya sudah dinasehati oleh si Ondel-ondel itu agar tetap menjaga api cinta kita… saya sayang kamu dan saya rindu kamu..”
Tidaklah mengherankan bila sang pendamping itu kemudian membalas: _“Siapa itu si Ondel-ondel?? – kamu main serong ya?”
Dengan begitu, silahkan saja katakan: “Sayang, kamu baca aja deh tulisannya on-line…”:http://pralangga.org/correspondents/luigi-pralangga (hehehehe).
Dari kesemuanya diatas, maka tidaklah salah peribahasa yang acapkali terdengar dan sudah tidak asing lagi ditelinga ini: “Peace begins from home..“
Sumber : http://pralangga.org