Dalam UU TNI, penetapan masa tugas pokok TNI dalam menjalankan operasi militer tidak tercantum secara tegas. Sebetulnya bisa merujuk dalam aturan syariah. Penempatan masa tugas tersebut, dalam aturan syariah, menelan waktu sampai empat bulan; sebuah yurisprudensi dari kisah seorang wanita di masa Khalifah Umar bin Khattab, yang saat itu sedang dilanda rindu hebat menanti suaminya pulang.
Lebanon Selatan, awal Juni 2009. Suhu di tanah sastrawan dan seninam kondang Khalil Gibran itu mencapai 39 dejarat Celsius. Namun bagi TNI terlatih seperti Satgas Konga XXIII-C, hawa panas ini bukan masalah. Toh, sebelumnya mereka telah menakluk suhu dingin dan bersalju sejak enam bulan lalu.
Di Lebanon mereka mengemban misi United Nations Interim Force In Lebanon (UNIFIL). Diterpa hawa panas, dataran tinggi Lebanon Selatan yang semula tertutup salju dan penuh bebatuan, sejak itu menjadi kering dan tandus. Rumput yang semula hijau mulai menguning. Hanya pohon Zaitun yang masih tampak sedikit kehijauan.
Prajurit TNI yang semula berpakaian rangkap dan berjaket, mau tak mau terpaksa mulai menanggalkan long jon mereka (pakaian dalam musim dingin). Lengan baju loreng panjang, sejak itu pula digulung untuk melawan teriknya udara.
Panasnya kawasan operasi Satgas Konga ini semakin menyengat seiring dengan meningkatnya suhu politik di Lebanon menjelang Pemilu. Hajatan demokrasi ini digelar pada 7 Juni 2009.
Antisipasi menghadapi suhu politik tersebut, Dansatgas Konga XXIII-C, Letkol Inf. R. Haryono yang baru saja kembali dari cuti untuk ibadah Umroh, menekankan kepada prajurit misi UNIFIL ini agar lebih awas, terutama di perbatasan Lebanon. “Sebab tidak menutup kemungkinan timbulnya ancaman bagi personel PBB yang tergabung dalam misi UNIFIL,” tekan Haryono.
Ini hanyalah sekelumit kabar kondisi personel Konga XXIII-C mutakhir yang dikirim Kepala Penerangan Satgas Konga XXIII-C/UNIFIL, Letkol Arh Hari Mulyanto, dalam press relasenya via Pusat Penerangan Mabes TNI, 3 Juni 2009.
Selain Satgas Konga XXIII-C ini ada pula Kontingan Garuda XX-F yang dikirim PBB membantu pemerintah Kongo untuk mengusir milisi Lord Resitance Army (LRA): kelompok pemberontak dari Uganda.
Bagi Forces Armee Republique Demokratik du Congo (FARDC) atau pasukan pemerintah Kongo, LRA memiliki reputasi aksi brutal yang sangat ditakuti di wilayah perbatasan Uganda, Sudan, dan Kongo. Mereka secara hantu menyerang penduduk di desa-desa wilayah perbatasan itu tanpa ampun. Mulai dari menjarah, menculik anak-anak untuk dijadikan “child soldier”, membunuh, memperkosa gadis-gadis desa, hingga membumi-hanguskan penduduknya.
Saat itu, ada 174 personel TNI Kontingen Garuda XX-F yang dikirim di kawasan ekstrim itu. Mereka dipimpin oleh Mayor Czi Sugeng Haryadi Yogopranowo.
Di Kongo, Kontingan Garuda kita ini bermukim di Kota kecil lagi terpencil dan terisolir, Kota Dungu. Kota ini dahulunya beken dikenal sebagai Little Belgium karena tata kotanya mirip miniatur kota di Belgia. Di celah-celah belantara hutan tropis Dungu inilah camp kontingen sekaligus Rumah Sakit tenda besar milik kontingan Indonsia berdiri.
Dalam UU No.34/2004 tentang TNI, tugas perdamaian dunia yang diemban oleh Satgas Konga XXIII-C dan Kontingen Garuda XX-F itu hanya salah satu dari 14 tugas pokok TNI.
Namun dalam UU TNI, lamanya tugas prajurit mengemban 15 tugas pokok itu tidak diatur detail. Kabar yang tersiar hanya penarikan pasukan yang telah stand by sebelumnya dengan menetapkan pasukan baru sebagai penyegaran. Apalagi kalau operasi tugas pokok yang digelar membutuhkan waktu lama akibat tingkat kerawanan dari wilayah yang dipertahankan. Singkat kata, penempatan masa tugasnya fleksibel.
Satu-satunya Pasal yang lantang mencantumkan masa bertugas tersebut dalam UU TNI hanya Pasal 33 tentang Pensiun. Untuk perwira, usia pensiun paling tinggi 58 tahun. Sedangkan untuk bintara dan tamtama 53 tahun.
Di masa lalu, memang pernah ada Peraturan Pemerintah (PP) yang mencoba mengatur masa tugas pokok prajurit di lapangan operasi. Ini tercantum dalam PP No.31/1981 tentang Pengangkatan Anggota TNI yang Telah Selesai Menunaikan Masa Dinas Menjadi Anggota Cadangan TNI.
Maksud Anggota Cadangan TNI dalam Pasal 1 PP itu adalah anggota TNI yang telah selesai menunaikan masa dinasnya serta memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu secara sukarela ikut serta dalam usaha pembelaan Negara melalui pengabdian di dalam Cadangan TNI.
Anggota Cadangan TNI yang dapat dipanggil kembali untuk menjalankan dinas aktif dilakukan sesuai dengan kepentingannya. Pelaksanaannya diatur lebih lanjut oleh Menteri. Meskipun demikian, PP ini tidak mencantum secara detail berapa lama masa satuan tugas pokok tersebut.
Namun dalam hukum syariah, ketentuan masa tugas seroang tentara yang sedang berlaga di medan pertahanan telah diatur.
Setelah wafatnya Abu Bakar ash-Shiddiq, tampuk kekuasaan Khalifah saat itu dipegang Umar bin Khattab (13 Hijriyah). Saat itu Umar melanjutkan ekspansi Islam ke jazirah Persia dan Romawi, dan mulai meletakkan undang-undang baru bagi para prajurit.
Menurut Dr. Rusli Hasbi, doktor Ilmu Ushul Fiqh dari African University, Khartoum, Sudan, di masa inilah aturan main batas waktu itu dikumandang Umar.
Al kisah, di sela-sela kesibukan Umar menyiapkan tentara di medan tempur, seperti yang sering dilakukan Umar, ia berkeliling ke rumah-rumah penduduk. Di pojok Kota Madinah, Umar mendengar keluhan dari seorang wanita tentang suaminya yang telah meninggalkan rumah sejak dimulainya ekspansi Islam.
Sang wanita mengaku tidak dapat tidur nyenyak. Hatinya pilu dan dilanda rindu hebat. Umar bisa menyimak perasaan wanita ini dari sebuah syair yang dilantun oleh wanita tersebut. Sepenggal bunyi syairnya:
Aku takut akan Tuhanku dan rasa maluku telah menghalangiku//
Semoga suamiku selalu mendapat kemuliaan di sisi-Nya//
Akan tetapi aku selalu takut kepada wakil Yang Maha Dekat//
Atas diriku yang tidak berdaya untuk menanti waktu.
Setelah bersyair, wanita itu menghela nafas panjang lalu berkata, ”Hina bagi Umar tentang kesepianku dan kehilangan suamiku.”
”Hah….,” Umar bin Khaththab tersentak kaget. Ia yang saat itu berdiri di depan rumah wanita itu kemudian mengetuk pintu, namun ditolak. Setelah beberapa kali mendengar ketukan, wanita itu berucap, ”Demi Allah, seandainya hal ini sampai kepada Amirul Mukminin niscaya ia akan menghukummu.”
Setelah Umar menyaksikan kesucian (’iffah) wanita tersebut yang tidak sembarang membuka pintu selain kepada muhrim, Umar menyebut siapa dirinya. ”Bukalah pintunya!, aku adalah Amirul Mukminin yang engkau sebut.”
Kontan saja sang wanita tak percaya. ”Kau bohong, kau bukan Amirul Mukminin,” kilahnya. Umar langsung melantangkan suaranya sehingga sang wanita mengetahui siapa pemilik suara itu sebenarnya. Setelah daun pintu dibuka, Umar seketika itu bertanya, ”Dimanakah suamimu”?
”Ia diutus untuk ini dan itu,” jawab wanita itu baru percaya bahwa orang yang mengetuk ;pintunya beneran Umar bin Khattab. Apa yang terjadi kemudian?
Kisah ini, kata Rusli Hasbi yang juga dosen UIN Jakarta ini, tercantum dalam Kitab Manâqib Umar bin Khaththâb karya Ibnu al-Jauzi. Umar saat itu langsung memerintahkan seseorang untuk membebas tugaskan suaminya. Tak berapa lama, Umar menemui putrinya, Hafshah, dan bertanya ”Seberapa kuat kesabaran seorang perempuan terpisah dari suaminya.”
”Satu bulan, dua bulan, atau tiga bulan, kemudian kesabarannya akan hilang pada bulan keempat,” jawab Hafshah.
”Dalam riwayat lain disebutkan lamanya empat bulan. Atas dasar ini, Umar kemudian menjadikan empat bulan sebagai batas akhir masa tugas seorang tentara dalam pertempuran,” papar Rusli Hasbi, yang juga bertindak sebagai mufti pribadi beberapa pejabat TNI.