''Kita diberi waktu 4 tahun menghancurlan ranjau darat di gudang. Jumlah keseluruhan mencapai 16.581. Indonesia tidak pernah menganggap ranjau darat sebagai alutista utama,'' kata Direktur Keamanan Internasional dan Perlucutan Senjata Kementerian Luar Negeri Febrian Ruddyard, dalam seminar ''Pelarangan Ranjau'' di Fisipol UGM.
Dia menuturkan, meski jumlah ranjau darat yang dimusnahkan termasuk dalam kategori kecil, namun tidak semua stok ranjau darat milik TNI dimusnahkan. Pasalnya, beberapa stok ranjau darat tersebut masih dimanfaatkan untuk kegiatan pelatihan militer. ''Sekitar 2.454 ranjau darat dimanfaatkan untuk pelatihan. Jumlah itu masih diperbolehkan,'' katanya.
Senada, Lars Strenger dari Jesuit Refugee Service menyebutkan, sampai saat ini terhitung 73.576 orang yang menjadi korban ranjau darat. Sekitar 70-80% berasal dari masyarakat sipil. ''Kebanyakan korbannya adalah anak-anak,'' sebutnya.
Sejak ditandatangi Konvensi Ottawa, Dia menyebutkan korban akibat ranjau darat berkurang dari 20 ribu menjadi 4 ribu orang per tahun. ''Jumlah ini masih sangat besar,'' imbuhnya. Dia menyebutkan 4.191 korban ranjau darat tahun 2011 lalu atau sekitar 12 orang yang menjadi korban setiap harinya.
Menurutnya, ranjau darat wajib dimusnahkan agar tidak menimbulkan korban masyrakat sipil yang rentan dan miskin yang harus menghadapi dampak buruk dari perang. Seperti diketahui, ranjau darat adalah bahan peledak yang akan meledak ketika ditekan pemicunya. Ranjau itu meledak saat terinjak oleh kaki manusia dan hewan. ''Ranjau ini sangat berbahaya tanpa memadang korbannya. Ranjau ini bisa berfungi 30-60 tahun ketika sudah ditanam di tanah,'' tambahnya.